Makalah Ini Di Bentuk Guna Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendididkan Agama Islam II, Yang Diampu Oleh Bapak
Machfudz Drs.M.Ag
Disusun
oleh:
1. ZANUDIN
2. ANGGI
SETIYANA
3. ARI
SUSANTO
4. ASIH
NURJANAH
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
SAINS AL QURAN (UNSIQ)
JAWA
TENGAH DI WONOSOBO
2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Dzat yang
telah menciptakan kita sebaik-baiknya mahkluk dan diberi akal untuk berpikir secara mandalam. Dan shalawat serta
salam kepada Nabi Muhammad SAW. Allah telah memberikan kami kekuatan untuk
menyalesaikan tugas ini. Karena hanya seizin Allahlah kami dapat melakukannya.
Kami
selaku Tim Penyusun menyadari bahwa banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penyajian makalah ini. Kami sengaja membuat makalah ini tentang nikah sirri yang
bertujuan agar para pembaca dapat Memahami hal mengenai sebuah pernikahan dan apa yang di
larang di dalamnya.
Apabila
kami belum mampu menyusun makalah ini dengan sempurna, kami mengucapkan mohon
maaf yang sebesar-besarnya dan kami ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan
sekalian yang telah membantu kami.
Semoga
makalah yang kami sajikan dapat bermanfaat bagi para pambaca sekalian. Serta
kami mohon saran dan kritiknya, agar dapat memberikan motivasi kepada kami
supaya dapat lebih baik lagi.
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB
1 PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Masalah
2.
Rumusan Masalah
3.
Tujan Pnulisan
BAB
II PEMBAHASAN
1.
Fenomena Nikah
Siri
2.
Definisi Nikah
Siri
3.
Tata Cara
Pernikahan Siri
4.
Hukum Pernikahan
Siri
5.
Pengesahan
Pernikahan Siri
BAB
III PENUTUP
1.
KESIMPULAN
2.
SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Manusia pada hakekatnya merupakan Makhluk Ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa yang diberi kelebihan berupa akal dan fikiran. Sudah menjadi kodrat
alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di
dalam suatu pergaulan hidup.
Hidup bersama di sini, untuk memenuhi kebutuhannya
sehari-hari baik jasmani maupun rohani. Pada umumnya seorang pria maupun
seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama. Hidup bersama antara
seorang pria dan seorang wanita mempunyai akibat yang sangat penting dalam
masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun keturunannya serta anggota
masyarakat yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang
mengatur tentang hidup bersama antara lain syarat-syarat untuk peresmian hidup
bersama, pelaksanaannya, kelanjutannya dan berakhirnya perkawinan itu
.
Perkawinan
merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Bagi
Bangsa Indonesia yang memiliki alam pikiran magis (percaya pada hal-hal gaib),
ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah
selesai ritual sakral, timbullah ikatan perkawinan antara suami isteri. Seorang
pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum,
namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri.
Ikatan yang ada di antara mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual
dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat hukum terhadap diri
masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.
Pada
prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta
membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang
antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa
pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria dengan wanita,
yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkan hubungan
seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah serta saling
menyantuni antara keduanya. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang
sah ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang
dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan
ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan
tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi
pada kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum
Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan
yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana Fenomena
Nikah Siri di Indonesia ?
2.
Apa Definisi tentang
Nikah Siri ?
3.
Bagaimana Tata
Cara Pernikahan Siri ?
4.
Bagaimana Hukum
Pernikahan Siri menurut Hukum Islam dan Hukum yang berlaku di Indonesia?
5.
Bagaimana Cara Mengesahan
Pernikahan Siri ?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk mengetahui fenomena nikah siri yang terjadi di
Indonesia.
2.
Untuk mengetahui definisi dari nikah siri.
3.
Untuk mengetahui tata cara pernikahan siri.
4.
Untuk mengetahui kekuatan hukum pernikahan siri dari
perspektif hukum Islam dan hukum Indonesia.
5.
Untuk mengetahui prosedur pengesahan pernikahan siri.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. FENOMENA NIKAH
SIRI
Akhir-akhir
ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri
sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan
oleh masyarakat umum, namun juga dipraktekkan oleh figur masyarakat yang selama
ini sering disebut dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah
lainnya yang menandai kemampuan seseorang mendalami agama (Islam). Kedua,
nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak
berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri.
Nikah siri sudah ada sejak zaman dulu ,banyak
sekali pasangan suami istri tidak mempunyai surat nikah tetapi mereka hidup
bersama hingga beranak cucu sampai maut memisahkan, tetapi walaupun hanya
menikah secara agama leleki zaman dahulu sangat bertanggung jawab.Namun hal itu
sangat berbeda dengan zaman sekarang ,yang kebanyakan pelaku niatnya hanya
menghalalkan nafsu birahi pada perempuan yang mereka suka .
Mengapa
nikah siri menjadi trend di Indonesia? Padahal jelas pihak wanita yang paling
dirugikan, kalau calon suami hanya berniat melampiaskan hasrat dengan halal.
Sayangnya masih banyak wanita yang mau diperlakukan semena-mena.
Mungkin faktor ekonomi atau ingin hidup senang tanpa harus kerja keras.
Apalagi kalau yang mengajak nikah seorang pejabat atau orang terkenal, banyak wanita
manggut-manggut saja. Mereka baru menyesal setelah dicampakkan lalu
berteriak cari perhatian dimedia.Banyak orang mengatakan lebih baik nikah siri
dari pada berzina,betul kata mereka tetapi bukan berarti lelaki bisa seenaknya.
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan tata tertib
pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat,
di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan
Hukum Agama. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa setiap
perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan
memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan
siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat.[1]
Berdasarkan
UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perkawinan adalah sah apabila sah menurut
agama dan kepercayaannya masing-masing, serta perkawinan tersebut harus
dicatatkan. Namun dalam kompilasi hukum islam perkawinan adalah sah apabila sah
menurut agama islam, kemudian syarat pencatatan yang ada agar menjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Berdasarkan kedua aturan tersebut
dapat diketahui bahwa suatu perkawinan itu tetap harus dicatatkan demi
terciptanya suatu ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Meskipun suatu
perkawinan itu sudah disebut sah apabila sudah sah secara agama apabila tidak
dicatatkan dapat dikatakan perkawinan tersebut adalah perkawinan secara siri.
Penyebab yang menimbulkan masyarakat melakukan pernikahan
siri sebenarnya kembali kepada pribadinya masing-masing. Namun yang terjadi
belakangan ini hal-hal yang menyebabkan timbulnya nikah dilihat dari faktor
sosial dikarenakan adanya kesulitan pencatatan pernikahan yang
kedua kalinya, batasan usia yang layak nikah berdasarkan peraturan
perundang-undangan, tempat tinggal yang berpindah-pindah membuat orang
kesulitan untuk mengurus administrasi dan prosedur pencatatan pernikahan.
Kemudian ada faktor ekonomi dimana masyarakat yang kurang
mampu biasanya akan kesulitan untuk membayar biaya-biaya untuk mencatatkan
pernikahannya sehingga lebih memilih nikah siri. Selanjutnya ada juga faktor
agama dimana nikah siri dilakukan untuk menghalalkan suatu
hubungan agar dijauhkan dari zina dan dosa.[2]
B. DEFINISI NIKAH SIRI
Secara harfiah “sirri” itu artinya rahasia, jadi nikah sirri
adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak. Secara umum
Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan
sesuai aturan agama ajaran Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya
menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau legal oleh aparat yang
berwenang.Nikah siri dalam konteks masyarakat sering dimaksudkan dalam beberapa
pengertian :
1. Nikah yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi,
tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak
mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga nikah
mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perkawinan. Banyak faktor yang
menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak
mampu membayar administrasi pencatatan, ada pula yang disebabkan karena takut
ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu,
dan lain sebagainya.
2. Nikah yang dilakukan
sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak
keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar dirahasiakan sampai tidak diketahui
siapa yang menjadi wali dan saksinya.
3. Pernikahan yang dirahasiakan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma
negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau
karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
C.
TATA CARA PERNIKAHAN SIRI
Kehidupan bersuami istri yang
dibangun melalui lembaga perkawinan, sesungguhnya bukanlah semanta-mata dalam
rangka penyaluran hasrat biologis. Maksud dan tujuan nikah jauh lebih luas
dibandingkan sekedar hubungan seksual. Bahkan apibila dipandang dari aspek
religius, pada hakekatnya nikah adalah salah satu bentuk pengabdian kepada
Allah. Karena itu, nikah yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah, perlu
diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan disyariatkannya nikah
tercapai. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal keduanya merupakan sesuatu
yang harus diadakan.
Sahnya suatu nikah dalam Islam
adalah dengan terlaksananya akad nikah yang memenuhi rukun dan
syarat-syaratnya. Untuk sahnya perkawinan, para ulama telah merumuskan
sekian banyak rukun dan syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat al-Qur’an
maupun hadis Nabi SAW. Adanya calon suami isteri, wali, dua orang saksi, mahar
serta terlaksananya ijab kabul merupakan rukun atau syarat
sahnya suatu pernikahan. Tata cara menikah siri tidak jauh beda dengan menikah
secara resmi di KUA, dimana dalam pernikahan itu harus dipenuhi syarat dan
rukunnya.
1.
Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2.
Adanya ijab qabul.
Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan.
Qabul artinya menertima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan
sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima.
Dalam perkawinan yang dimaksud dengan “ijab qabul” adalah seorang wali atau
wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya
/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang
mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan
menyatakan menerima pernikahannya itu.
3. Adanya Mahar (mas
kawin)
Islam memuliakan wanita dengan
mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin).
Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi atas
kesepakatan kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam juga
lebihmenyukai mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak
berlebih-lebihan dalam memintanya. Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah SAW
: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan” (HR.Al-Hakim dan
Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)
4.
Adanya Wali
Dari Abu Musa ra, Nabi SAW bersabda: “Tidaklah sah suatu
pernikahan tanpa wali.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud). Wali yang mendapat prioritas pertama di antara
sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada
barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau
seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat
terdekat yang lainnya atau hakim.
5. Adanya
Saksi-Saksi
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan
tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Al-Baihaqi dari
Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh
Al-Albani no. 7557). Menurut sunnah Rasulullah SAW, sebelum aqad nikah diadakan
khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah atau khuthbatul-hajat.
D.
HUKUM PERNIKAHAN SIRI
1. Nikah Siri Menurut Islam
Hukum nikah sirih secara agama adalah sah atau legal dan
dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada
saat nikah sirih digelar. Pada prinsipnya, selama nikah siri itu memenuhi rukun
dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka dapat dipastikan hukum nikah itu
pada dasarnya sudah sah. Hanya saja bertentangan dengan perintah Nabi saw, yang
menganjurkan agar nikah itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak
menjadi fitnah. Sesuai hadis Nabi saw :
وروى
أحمد وغيره عن ابن حاطب: (فصل مابين الحلال والحرام الضرب بالدف(
Artinya :
“Yang
membedakan antara acara pernikahan yang halal dan yang haram, adalah adanya
tabuhan rebana.”
Secara mendasar, tidak dilihat dari tabuhan rebananya,
melainkan yang menjadi hal mendasar adalah upaya untuk menyebarluaskan berita
tentang acara pernikahan yang diselenggarakan.
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah
dikenal di kalangan ulama. Hanya saja nikah siri di kenal pada masa dahulu
berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud
dengan nikah siri yaitu nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan
syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan
terjadinya nikah tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan
sendirinya tidak ada walimah al-‘Ursy. Berikut ini adalah
pendapat para ulama Islam tentang nikah siri.
·
Menurut pandangan mahzab Hanafi dan Hambali suatu penikahan
yang sarat dan rukunya terpenuhi maka sah menurut agama islam walaupun pernikahan
itu adalah pernikahn siri. Hal itu sesuai dengan dalil yang berbunyi, artinya: “Takutlah
kamu terhadap wanita, kamu ambil mereka (dari orang tuanya ) dengan amanah
allah dan kamu halalkan percampuran kelamin dengan mereka dengan kalimat Allah
(ijab qabul)” (HR Muslim).
Menurut terminologi fikih Maliki, nikah siri ialah :
هو
الذي يو صي فيه الزوج الشهود مكتمه عن امراته, او عن جما عة ولو اهل منزل.
Artinya :
“Nikah
yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau
jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.
·
Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah siri. Perkawinannya
dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dilakukan hukuman had (dera
rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau
dengan kesaksian empat orang saksi.
·
Sedangkan menurut kiayi Husein Muhamad seorang komisioner
komnas perempuan menyatakan pernikahan pria dewasa dengan wanita secara siri
merupakan pernikahan terlarang karena pernikahan tersebut dapat merugikan si
perempauan, sedangkan islam jusru melindungi perempuan bukan malah
merugikannya. Menurut kalangan Ulama Syiah memang membolehkan cara pernikahan seperti
itu. Yaitu nikah siri, lebih baik ketimbang berzina yang sangat dilaknat oleh
Allah SWT. Kalangan Ulama Suni di Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah siri
adalah Halal berdasarkan nash Al Qur’an (Anisa:3), dan bahkan tidak sedikit
diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata karena kebutuhan seksual,
tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah sirih itu sendiri.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (QS.
An-Nisa ayat 3).
·
Ulama terkemuka yang membolehkan nikah dengan cara siri
adalah Dr. Yusuf Qardawi salah seorang pakar muslim kontemporer terkemuka di
Islam. Ia berpendapat bahwa nikah siri itu sah selama ada ijab
kabul dan saksi.
·
Dadang Hawari, mengharamkan nikah siri, sedangkan KH. Tochri
Tohir berpendapat lain. Ia menilai nikah siri sah dan halal, karena islam tidak
pernah mewajibkan sebuah nikah harus dicatatkan secara negara. Menurut Tohir,
nikah siri harus dilihat dari sisi positifnya, yaitu upaya untuk menghindari
Zina. Namun ia juga setuju dengan pernyataan Dadang Hawari bahwa saat ini
memang ada upaya penyalahgunaan nikah siri hanya demi memuaskan hawa
nafsu. Menurutnya, nikah siri semacam itu, tetap sah secara agama, namun
perkawinannya menjadi tidak berkah.
·
Menurut Prof. Wasit Aulawi seorang pakar hukum Islam
Indonesia, mantan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama yang juga mantan
Dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta, menyatakan bahwa ajaran Islam, nikah tidak
hanya merupakan hubungan perdata, tetapi lebih dari itu nikah harus dilihat
dari berbagai aspek. Paling tidak menurutnya ada tiga aspek yang mendasari
perkawinan, yaitu: agama, hukum dan sosial, nikah yang disyariatkan Islam
mengandung ketiga aspek tersebut, sebab jika melihat dari satu aspek saja maka
pincang.
·
Quraish Shihab mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan
nikah yang ditetapkan melalui undang-undang di sisi lain nikah yang tidak
tercatat-selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh hukum agama,
walaupun nikah tersebut dinilai sah, namun nikah dibawah tangan dapat
mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan setiap muslim untuk taat pada ulul
amri selama tidak bertentangan dengan hukum Allah.
Sesuai firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat
59 :
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga
pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk
membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang
lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’i (bayyinah
syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika
pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah
memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah)
di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan
pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak
asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi
yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’i.
Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan
pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’i.
Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan
keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah
menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian
saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan
ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan
pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan.
Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut
sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menolak
kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan
hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah
berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan
Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak
dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan
masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga
pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan
belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan
masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat
itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi
mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’i bukan hanya dokumen
tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak
pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau,
atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka,
walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan
di dalam al-Quran, misalnya firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 282 :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Pada dasarnya, Nabi saw telah
mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan
menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah,
walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan
(sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda :
حَدَّثَنَا
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakanlah walimah walaupun dengan
seekor kambing.” (HR.
Imam Bukhari dan Muslim)
2. Nikah Siri Menurut Hukum di
Indonesia
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974
diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan
dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut
UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU
Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada
pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat
Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya,
maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan
masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan
masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya
terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan .
Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan
di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan
tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”). Sedangkan bagi mereka yang
beragama non muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk
memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal
2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk
mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam,
cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara
pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana
perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan,
selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian
pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan
apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya
tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan
untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman
tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara
menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum.
Di dalam rancangan undang-undang menjelaskan, Pasal 143 RUU
yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang
dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah
dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga
tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf
RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak. Dan Pasal 144 menyebut,
setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3
tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal
perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat
3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang
jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa
tentang nikah di bawah tangan atau nikah siri dengan 2 (dua) ketentuan hukum,
yakni.
(1)
Pernikahan di Bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun
nikah, tetapi haram jika terdapat dampak negatif (madharrah).
(2)
Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai
langkah preventif untuk menolak hal-hal yang bersifat madharrah.
E.
PENGESAHAN PERNIKAHAN SIRI
1. Mencatatkan Perkawinan Dengan Istbat
Nikah
Esensinya adalah pernikahan yang semula
tidak dicatatkan menjadi tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki
kekuatan hukum. Dasar dari istbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam pasal 7
yaitu :
2. Perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah.
3. Dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat
nikahnya ke Pengadilan Agama.
4. Itsbat nikah
yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan :
·
Dalam rangka penyelesaian perceraian. Dalam
kasus ini biasanya menggunakan gugatan komulatif, yaitu pemohon meminta atau
memohon disahkan dahulu perkawinannya, setelah itu mohon diceraikan;
·
Hilangnya akta nikah;
·
Adanya keraguan tentang sah atau
tidaknya salah satu syarat perkawinan;
·
Adanya perkawinan yang terjadi
sebelum berlakunya Undang- Undang No. 1 Tahun 1974; dan
·
Perkawinan yang dilakukan oleh
mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang
perkawinan yaitu pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun sedangkan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
·
Yang berhak mengajukan permohonan
istbat nikah ialah suami atau istri,
anak-anak mereka, wali nikah, dan
pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Permohonan itsbat nikah harus bersifat voluntair tidak
ada unsur sengketa, dikatakan demikian karena hasil dari permohonan bersifatdeclaratoir (menyatakan)
atau constitutoire (menciptakan) bukan bersifat menghukum.
Dalam persidangannya Hakim Pengadilan Agama akan memeriksa, dan menyatakan sah
atau tidaknya perkawinan tidak tercatat tersebut, dalam bentuk penetapan itsbat
nikah. Penetapan itsbat nikah inilah yang akan dijadikan landasan hukum bagi
Kantor Urusan Agama, untuk mengeluarkan Akta Nikah dengan mencantumkan tanggal
perkawinan terdahulu. Namun apabila ternyata hakim menyatakan bahwa perkawinan
terdahulu tidak sah, maka Kantor Urusan Agama akan menikahkan kembali pasangan
suami istri tersebut.
Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak-anak dan jika
telah memiliki akta nikah, harus segera mengurus akta kelahiran anak-anak ke
Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak pun sah di mata hukum. Jika
pengurusan akta kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang
telah ditentukan, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan
kelahiran anak kepada Pengadilan Negeri setempat. Dengan demikian, status anak
dalam akta kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.
Melakukan
Perkawinan Ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama
Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh
pejabat yang berwenang dalam pencatat perkawinan (KUA). Perkawinannya harus
dicatatkan di muka pejabat yang berwenang, dalam hal ini di Kantor Catatan
Sipil.
Pencatatan
perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan. Namun, status
anak-anak yang lahir dalam perkawinan siri akan tetap dianggap sebagai anak di
luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak
yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam
akta kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak
luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya
sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.
Adapun cara yang dapat ditempuh jika dalam perkawinan siri
tersebut telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak, yakni
pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan
yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh
ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan Pasal 43 Undang undang No. 1 Tahun 1974
yang pada intinya menyatakan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak
mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan
perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan pengakuan Anak. Namun
bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu,
sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUH Perdata.[3]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan materi tentang “Nikah Siri” pada bab diatas dapat disimpulkan :
1. Akhir-akhir ini, fenomena nikah siri
memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri sepertinya memang
benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat
umum, Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika
seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri. Penyebab
yang menimbulkan masyarakat melakukan pernikahan siri sebenarnya kembali kepada
pribadinya masing-masing. Namun yang terjadi belakangan ini hal-hal yang
menyebabkan timbulnya nikah dilihat dari faktor sosial dikarenakan
adanya kesulitan pencatatan pernikahan yang kedua kalinya, batasan usia yang
layak nikah berdasarkan peraturan perundang-undangan, tempat tinggal yang
berpindah-pindah membuat orang kesulitan untuk mengurus administrasi dan
prosedur pencatatan pernikahan. Kemudian ada faktor ekonomi dimana
masyarakat yang kurang mampu biasanya akan kesulitan untuk membayar biaya-biaya
untuk mencatatkan pernikahannya sehingga lebih memilih nikah siri. Selanjutnya
ada juga faktor agama dimana nikah siri dilakukan untuk
menghalalkan suatu hubungan agar dijauhkan dari zinah dan dosa.
2. Secara umum Nikah Siri adalah
sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini
Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak
terjadinya pencatatan secara sah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam
hal ini Pemerintah yang diwakili Departemen Agama.
3. Tata cara menikah siri tidak jauh
beda dengan menikah secara resmi di KUA, dimana dalam pernikahan itu harus
dipenuhi syarat dan rukunnya. Yakni adanya kedua calon mempelai, ijab qabul,
wali, dua orang saksi, dan mahar.
4. Menurut hukum Islam, perkawinan di
bawah tangan atau siri adalah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun
perkawinannya. Namun dari aspek peraturan perundangan perkawinan model ini
belum lengkap dikarenakan belum dicatatkan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan
perbuatan administratif yang tidak terpengaruh pada sah tidaknya perkawinan.
5. Hukum Indonesia melalui UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan,
a.
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
b.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dan Pasal 143 RUU menggariskan, setiap orang
yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat
nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga
tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta.
6. Pernikahan dibawah tangan atau siri
dapat disahkan dengan 2 (dua) cara yakni mengajukan istbat nikah atau dengan
melakukan pernikahan ulang.
B.
SARAN
Sebaiknya apabila akan melakukan pernikahan, lakukanlah
pernikahan itu secara sah menurut agama dan negara.karena pernikahan adalah hal
yang membahagiakan bukan hal yang harus ditutupi dan sebaiknya semua orang tahu
agar tidak timbul pembicaraan.
DAFTAR
PUSTAKA
EmoticonEmoticon